Dari Mimbar ke Tambang: Saat Ormas Keagamaan Masuki Sektor Ekstraktif, Siapa yang Bertanggung Jawab atas Ekologi?
BuletinNews.id
Ciamis,- Tragedi longsor di area tambang galian C, Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jumat (30/5/2025), menelan setidaknya 19 korban jiwa. Duka mendalam menyelimuti keluarga korban dan menjadi luka kemanusiaan bagi warga Jawa Barat. Ironisnya, aktivitas pertambangan tersebut dikelola oleh dua koperasi pondok pesantren (kopontren), yakni Al-Azhariyah dan Al-Ishlah, yang sebelumnya telah mendapat teguran dari Dinas ESDM Jawa Barat. Senin, (2/6/2025).
Menanggapi peristiwa tersebut, Annisa Nurhopipah Disastra, kandidat calon Ketua PKC Korp PMII Jawa Barat, menyuarakan kritik tajam terhadap pelibatan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan dalam sektor industri ekstraktif yang dinilai jauh dari misi utama mereka.
> “Pesantren seharusnya menjadi lokomotif transformasi keilmuan yang membawa kedamaian dan keseimbangan, bukan menjadi pelaku utama eksploitasi sumber daya alam yang berisiko tinggi,” tegas Annisa dalam keterangannya, Senin, (2/6/2025).
Menurut Annisa, keterlibatan ormas keagamaan dalam tambang tidak hanya memunculkan persoalan teknis dan risiko ekologis, tapi juga menciptakan krisis moral dan spiritual. Dalam kasus Gunung Kuda, kendati kedua kopontren mengantongi izin usaha pertambangan (IUP), nyatanya mereka tidak mampu mengelola tambang secara aman dan bertanggung jawab.
Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan IUP kepada ormas keagamaan, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, dinilai Annisa sebagai bentuk penjinakan ormas di tengah krisis legitimasi industri tambang.
> “Ini bukan bentuk kepedulian, tapi justru strategi untuk meredam penolakan masyarakat terhadap tambang. Ketika ormas keagamaan masuk, masyarakat akan segan, dan konflik struktural berubah menjadi konflik horizontal,” jelasnya.
Annisa menilai, keputusan tersebut dapat mengaburkan garis tanggung jawab sosial dan moral ormas keagamaan, yang seharusnya menjadi penjaga harmoni sosial dan lingkungan, bukan aktor eksploitasi sumber daya.
> “Apakah bijak menyerahkan urusan tambang kepada pihak yang tak memiliki kompetensi teknis? Bukankah agama sendiri mengajarkan, jika suatu urusan tidak diserahkan pada ahlinya, tunggulah kehancurannya?” lanjutnya.
Annisa menyoroti pentingnya menempatkan kembali nilai-nilai etika lingkungan hidup dalam paradigma pembangunan. Ia menyebut bahwa manusia, sebagai bagian dari ekosistem, memiliki tanggung jawab bukan hanya untuk memanfaatkan alam, tapi juga melindunginya bagi generasi yang akan datang.
Ia mengingatkan, peristiwa longsor di Cirebon adalah contoh nyata bagaimana intervensi destruktif terhadap alam berujung pada bencana kemanusiaan. “Keseimbangan ekologis telah dilanggar. Alam memberi sinyal lewat bencana. Maka yang dibutuhkan bukan hanya audit tambang, tapi taubat ekologis,” kata Annisa.
Dalam konteks pesantren, ia mengusulkan integrasi nilai-nilai ekologi dalam kurikulum pendidikan. Pesantren, menurutnya, bisa menjadi pelopor gerakan hijau melalui praktik-praktik nyata seperti penghijauan, pengelolaan limbah, konservasi air, dan energi terbarukan.
Merujuk pada pandangan cendekiawan Muslim Azyumardi Azra dan Seyyed Hossein Nasr, Annisa mengingatkan bahwa persoalan lingkungan bukan semata-mata teknis, tapi mencerminkan krisis spiritual manusia modern.
> “Jika pesantren meninggalkan peran mendidik ruhani umat dan justru menjadi pelaku industri rakus, maka pesan dari ayat-ayat kauniyah Allah—yaitu alam semesta—akan diabaikan. Ini bukan sekadar krisis lingkungan, tapi juga krisis iman,” katanya.
Annisa menutup dengan seruan agar pemerintah mengevaluasi total kebijakan pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan. Ia juga mendesak agar IUP di Gunung Kuda dicabut dan dilakukan pemulihan lingkungan serta penanganan korban secara menyeluruh.
(Ape)